MENGGODA: Sajian
lontong kupang disalah satu warung sekitar Kenpark
Pagi itu meja dan kursi disalah satu sudut warung makan sekitar wisata Kenpark sudah terjejer rapi dengan beberapa menu makanan yang sudah siap disajikan. Warung itu tak lain adalah milik ibu Murtiningsih (43) -sapaanya-Ningsis yang sudah lama membuka usahanya sejak tahun 1993. Biasanya warung milik Ningsih itu buka 24 jam. “Iya saya sering buka 24 jam disini”, tuturnya.
Pagi itu meja dan kursi disalah satu sudut warung makan sekitar wisata Kenpark sudah terjejer rapi dengan beberapa menu makanan yang sudah siap disajikan. Warung itu tak lain adalah milik ibu Murtiningsih (43) -sapaanya-Ningsis yang sudah lama membuka usahanya sejak tahun 1993. Biasanya warung milik Ningsih itu buka 24 jam. “Iya saya sering buka 24 jam disini”, tuturnya.
Didalam
warung itu ia tinggal bersama keluarganya sehingga ia jarang untuk pulang
kerumah walaupun jarak rumahnya dekat dengan daerah wisata.Tidak
jauh beda dengan warung lain, Ningsih juga menyajikan menu andalannya yaitu
Lontong Kupang. Ia mengatakan bahwa kuliner yang menjadi andalannya tetap
digemari oleh banyak masyarakat. “Biasanya yang banyak itu dari kalangan orang
cina”, imbuhnya.
Tidak
sedikit pelanggan dari kalangan cina itu mampir untuk menyantap hidangan spesial
yang dibuat olehnya. Ia menceritakan banyak orang cina yang datang setelah
mereka selesai melaksanakan ibadat di klenteng yang ada di dekat warung
miliknya. “Apalagi kalau hari minggu, pasti lebih banyak yang kesini”, aku ibu dua
anak tersebut.
Pada
hari besar atau hari liburan, memang semua warung yang menyajikan menu lontong
kupang dipadati pengunjung. Ningsih sendiri merasa bersyukur ketika ada hari
besar seperti Imlek karena banyak yang
melakukan ibadat di klenteng Kenpark. Keadaan itu membuat pendapatan para pemilik warung
meningkat. Hal itu juga yang tidak
ditampik oleh Ningsih.”Memang kalau pas
hari Imlek, pendapatan kami meningkat”, katanya dengan pelan.
Selain
hari besar Imlek tersebut, ia juga merasakan meningkatnya pendapatan ketika
hari besar lainya juga seperti hari raya idulfitri, tahun baru, dan juga hari
minggu.Ditanya
mengenai minat masyarakat terhadap kuliner lontong kupang, ia mengatakan bahwa
peminat dari tahun ke tahun mengalami peningkatan.”Ya mungkin dulu orang belum
semua mengenal kuliner ini, tapi sekarang ya lumayan banyak. Sehingga itu akan
menguntungkan kami sebagai pembuat hidangan lontong kupang”, cetusnya dengan
semangat.
Tidak
hanya pencinta kuliner dari dalam negeri, ternyata warung milik Ningsih juga
pernah didatangi bule yang mampir untuk membeli makanan dan minuman di
warungnya. “Kalau gak salah empat
tahun yang lalu ada bule dari Pakistan dan Amerika juga mampir ke warung saya”,
ungkap ibu kelahiran Surabaya itu.
Kemahiranya
dalam menghidangkan menu khas Surabaya ini memang sudah turun temurun. Ia
menceritakan kalau semua keluarganya bisa membuat menu makanan yang digemari
masyarakat itu. “Dulu nenek saya sudah jualan kuliner ini sejak tahun 1973, tapi
belum punya warung, masih dibawa diatas kepala”, akunya.
Biasanya
dalam sehari Ningsih bisa menghabiskan lima mangkok takaran kerang untuk dijual
ke pembeli. Ia merasakan kalau hari puasa seperti ini, jualanya agak menurun
karena sedikit pengunjung yang datang ke tempat wisata tersebut. Setiap satu
takaran mangkok ia membeli ke nelayan dengan harga Rp 5000. “Sebelum naiknya
BBM, satu mangkok dipatok Rp 4000 sekarang naik seribu”, imbuhnya dengan nada
lirih.
Banyak
pedagang warung seperti Ningsih yang juga merasakan kenaikan ini akibat
barang-barang panganan yang juga naik. Mengenai
perbedaan hidangan lontong kupang dengan sajian kuliner lainnya, Ningsih
menjelaskan bahwa menu makanan tersebut harus disajikan dengan rasa manis
sehingga hal itu akan mengurangi rasa dasar dari bahan olahanya yang cenderung
keasinan.”Kalau lontong kupang sendiri harus manis, karena bahannya kan dari
laut otomatis kan asin, makanya kita buat manis”, jelasnya.
Ia
juga pernah dimarahi pelanggannya karena hidangannya tidak sesuai dengan
keinginan pembeli.”Hal itu sudah biasa kok,
kadang-kadang ada yang protes keasinan, kekecutan”, katanya. Bicara
masalah omsetnya, Ningsih sendiri mengatakan tidak tentu untuk kesehariannya.
Ia mendapatkan omset yang lumayan tinggi ketika hari Imlek dan tahun baru.
Sehingga ketika mengetahui pengunjung menurun, ia segera mengurangi pembelian
stok kerang dari pelayan juga.
“Untuk
tempat menurut saya sudah bagus dari pada dulu. Mungkin itu juga yang akan
mempengaruhi minat pengunjung ke tempat wisata ini jadi kami juga diuntungkan”,
sahutnya. Untuk
masalah pajak retribusi, setiap stand dikenakan uang sebesar Rp 250.000 per
bulan. Hal itu belum termasuk kebutuhan ait dan listrik yang setiap hari
digunakan pedangang warung seperti Ningsih.
Banyaknya
warung yang berdiri dikawasan wisata Kenpark, ternyata muncul perkumpulan atau
sering dinamakan paguyuban wirausaha. Didalam paguyuban itu, para pedangan
dibimbing dan membuat program arisan dan makan-makan, hal itu ditujukan untuk
menciptakan hubungan antara pedagang dengan pihak pengelola wisata.
Lontong
kupang memang salah satu ikon kuliner di Jawa Timur khususnya Surabaya. Ningsih
berharap agar kuliner ini tetap dijaga dan dilestarikan.”Makanya resep
turun-temurun itu penting bagi kita”, pesannya serambi mengambil kerang.(Wahyu/ Why News Fikom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar