Social Icons

Facebook  Twitter  Google+ 

Jumat, 14 Desember 2012

Nasib Pemulung Surabaya


         SURABAYA– Terik matahari mulai memancarkan cahayanya di pagi hari, seorang ibu paruh baya pun mulai menarik gerobak kecil nya. Dengan penuh semangat, ibu itu bekerja dengan suaminya.
            Hembusan angin mulai berhembus, waktu pun berjalan, seorang wanita paruh baya mulai menjalani kehidupannya dengan mengais sampah. Mak ya yang biasa di sapa ini mulai mencari barang – barang dari tempat sampah warga, mengangkat nya dan membuangnya ke tempat pembuangan akhir.
            Mak Ya (63) hidup bersama sang suami Pak Min (57) dan juga sang ibunda (85). Ibu dari 3 anak ini bekerja sebagai pemulung dari pagi hingga sore hari. Dengan di temani oleh sang suami, Mak Ya menjadi begitu semangat dalam menjalani kehidupannya.

            Dengan keterbatasan ekonomi, Mak Ya sebagai seorang ibu     khawatir jika anaknya tak memiliki masa depan. Anak pertama Mak Ya sudah kawin dan memilih tinggal di kampung halaman, anak ke 2 Mak Ya sekolah pelayaran di Kalimantan, sedangkan  anak ke 3 Mak Ya hanya sampai tamat SMP. Anak ke 3 ini memilih tidak sekolah karena tidak  ingin menyusahkan Mak Ya.
            Tak hanya itu saja, Mak Ya juga merupakan sosok wanita yang patut di banggakan. Sosok wanita yang ingin bekerja keras demi menghidupi kehidupan keluarga. Suami Mak Ya memiliki keterbatasan mental, dan suka senyum -  senyum sendiri bila di tanya. Dengan keterbatasan yang dimiliki oleh sang suami, tidak menjadikan Mak Ya untuk malu dan bosan untuk merawat dan menjaga suaminya. Meskipun begitu, sang suami pun bisa membantu Mak Ya berjalan untuk mengais sampah di rumah – rumah warga.
            Dalam menjalani pahitnya kehidupan di kota besar saat ini, Mak Ya tetap bekerja keras meskipun harus mengais sampah. Beliau tidak memiliki cita – cita yang tinggi, atau harapan yang besar tentang kehidupannya di masa mendatang. “ Cita – cita saya tidak ada, yang penting saya bisa makan, itu sudah cukup”, ungkap Mak Ya saat di tanyai.
            Tak ada rasa malu pun yang di rasakan oleh Mak Ya, walaupun rumah yang dimilikinya tidak sebesar dengan rumah milik tetangganya. Rumah kecil, di penuhi dengan kursi diruang tamu yang di berikan koran dan karton, serta tempat tidur kasur untuk Pak Min dan Mak Ya serta Ibunda Mak Ya sudah cukup berarti untuk Mak Ya.
            Suara Maghrib pun mulai berkumandang, Mak Ya dan Pak min yang sehari – hari nya duduk di Mesjid pun tidak pernah melakukan aktivitas selayaknya orang beribadah. Masjid yang berdekatan dengan rumah mereka tersebut dulu milik almarhum Ayah Mak Ya, tapi setelah almarhum Ayah mak Ya meninggal, mesjid tersebut sudah di beli oleh warga. Hasil warisan dari almarhum ayah Mak Ya diberikan kepada sang ibu.
            Dengan kerja keras yang dilakukan Mak Ya beserta sang suami, Pak Min, akhirnya mereka bisa membeli sebuah gerobak sampah untuk mereka keliling memulung sampah, tanpa harus menggunakan karung goni lagi. Selama 30 tahun bekerja sebagai pemulung, dan dengan menyisihkan sebagian uang, akhirnya mereka sepakat membeli gerobak dan juga hasil dari kerja keras mereka di hasilkan dengan membuka waring kecil – kecilan di halaman rumah mereka.
            Meskipun begitu, Mak Ya juga mempunyai keluh kesah yang ia rasakan di kota besar ini, “ saya capek sebenarnya, tapi kalau nggak kerja, nggak dapat uang, nggak bisa makan, buka warung banyak saingannya, nama nya ya hidup, ada susah, ada senang”.
            Mak Ya di mata para tetangganya merupakan  sosok yang baik, ramah, dan juga pekerja keras. Meskipun orang yang suka mood – moodan, ia tetap merupakan sosok yang perlu di contoh. Jarang perempuan menarik gerobak sampah demi mencari uang untuk kehidupan.
            Saat di mintai keterangan, Mak Ya yang tidak ingin menyebutkan nama aslinya ini hanya ingin warga sekitar lebih memperhatikan kebersihan. “Jika di sediakan tempat sampah, buanglah sampah itu pada tempatnya. Jangan membuang di lantai.”
            Berbeda dengan Mak Ya, (27/12) Bu Sri sapaan sosok ibu yang bekerja menjadi pemulung di TPA ( Tempat Pembuangan Akhir ) Benowo ini. Bu Sri ( 46 ) ini memiliki 4 anak yang masih kecil – kecil, yakni Lulu (14), Mila ( 10 ), Kiki ( 7 ), serta Soni ( 5 ). Bu Sri yang tinggal dekat penampungan sampah ini mengais rejeki bersama sang suami. Dengan tumpukan sampah yang menumpuk tak membuat Bu Sri beserta sang suami malu untuk mengais rejeki. Meskipun bau dan resiko yang harus dihadapi oleh suami istri ini.
            Bu Sri yang biasa di sapa Mbak Ri ini sudah 10 tahun tinggal di daerah benowo tersebut. Sebelumnya ia tinggal di dekat jembatan. Karena waktu itu, tempat ia tinggal di bongkar karena tidak memiliki izin. Ia di ajak  oleh sang suami untuk tinggal di daerah TPA Benowo ini. Mbak Ri tak bisa berbuat apa – apa, hanya bisa mengikuti sang suami.
            Selain manusia yang menginjak-injak tumpukan sampah tersebut, di situ juga terdapat seekor sapi yang juga memakan makanan atau mencari makanan dari tumpukan sampah tersebut. Seperti yang kita tahu, tumpukan sampah tersebut sudah mengandung karbondioksida yang tidak bagus untuk kesehatan manusia maupun hewan. Namun sapi tersebut tetap memakan makanan dari tumpukan sampah tersebut yang justru membahayakan kesehatan sapi tersebut dan juga pemiliknya.
            Tumpukan sampah di TPA Benowo ini pernah memakan korban, yang salah satunya merupakan teman dari mbak Ri ini, tumpukan sampah jatuh mengenai korban. Korban pun meninggal di bawah tumpukan sampah yang jatuh menimpanya.
            TPA Benowo ini sudah sangat terkenal di kalangan masyarakat dengan berbagai kasus, dimana warga sekitar ingin bahwa pemerintah segera membersihkan TPA benowo ini segera karena mengganggu kenyamanan warga sekitar dengan bau busuk dari tempat pembuangan sampah tersebut. Ketika kawasan di Benowo itu baru dijadikan TPA warga sempat menghadangnya. Tapi, Pemkot meredam kemarahan warga Benowo dengan janji-janji muluknya. Salah, satu janjinya menjaga agar bau sampah tidak keluar ke perkampungan. Caranya, dengan cara menutup gundukan sampah dengan sirtu (pasir batu). Namun, kenyataannya sekarang ini bau sampah masih mengalir keluar TPA secara liar alias tidak terkendali.
            Mendengar akan hal itu, Bu Sri sempat khawatir, karena ia mencari rejeki dari mengais sampah tersebut. “ saya tidak sekolah mbak, jadi gimana saya mencari uang untuk menghidupi anak-anak saya, ini satu – satunya tempat saya mencari uang dengan memulung barang bekas”.
            Dengan kehidupan ekonomi sekarang ini, Bu Sri tidak berharap banyak, ia hanya ingin anak – anaknya mendapatkan asupan gizi yang cukup. Karena tinggal di tempat kumuh seperti ini, anak -  anaknya justru harus membantu ia untuk mengais rezeki dengan mengambil atau memulung barang -  barang bekas. Dengan biaya seadanya, makan secukupnya.
            Bu Sri berharap bahwa “pemerintah lebih peduli terhadap masyarakat kecil. Pemerintah tidak cuek pada masyrakat kecil”. Ungkapan hati bu Sri karena ia merasa tidak dihargai oleh pemerintah. Ia tidak mendapatkan apa yang seharusnya Ia dapatkan ketika ia harus mengais rezeki seperti itu.
            Saat menemui warga sekitar benowo, Bu Marta (49) seorang ibu rumah tangga mengatakan bahwa “ Pemkot Surabaya, cepatlah turun tangan, jangan hanya berbicara di depan media saja jika ingin merealisasikan pembersihan TPA ( Tempat Pembuangan Akhir ) benowo ini”. Laksanakan tugas Pemkot, percuma Surabaya dikenal dengan kota Green & Clean, kalau ternyata masih banyak tempat yang seperti di Benowo ini. Kami butuh udara yang bebas dari bau sampah ini.
            Pemkot mungkin remeh dalam menyikapi hal ini, tapi dengan banyaknya tumpukan sampah yang menggunung itupun dapat menyebabkan resiko yang sangat besar. Seperti awal september lalu, terjadi kebakaran  di TPA Benowo ini. Dari tumpukan sampah yang menggunung tersebut keluar kepulan asap dan api yang cukup besar.
            Kemungkinan kebakaran terjadi akibat pertama karena gesekan material yang mengeluarkan percikan api, kedua karena puntung rokok dan ketiga karena gas yang dihasilkan oleh sampah.  Dengan cuaca yang panas, justru memungkinkan kebakaran dapat terjadi dengan gesekan material tersebut.
            Bu Marta, warga benowo hanya berharap bahwa pemerintah bisa menjadikan pemulung sampah sebagai pemerhati kebersihan sebagai cara menghapus penilaian negatif masyarakat terhadap para pemungut sampah itu seperti yang dilakukan oleh pemerintah samarinda terhadap pemulung di Samarinda.
            Selain di TPA Benowo dan Pemulung di daerah kedung doro, dapat ditelusuri lagi bahwa Surabaya merupakan kota yang dipilih oleh Perusahaan Jepang, Beetle yang bergelut di dunia sampah, dan melakukan pelatihan pengelolaan sampah di Surabaya. Perusahaan Jepang ini memilih Surabaya karena kondisi kota yang nyaris sama penuh dengan sampah. Kota Kiyushu salah satunya merupakan kota yang per harinya menghasilkan sampah 1300 ton, sementara di surabaya yang penduduknya lebih banyak hanya menghasilkan 1200 per hari.
            Kondisi seperti ini membuat tim dari Beetle datang ke Surabaya dan memilih tempat pembuangan sementara Sutorejo. Tim itu juga melakukan studi tentang sampah di Surabaya dan memberikan pelatihan kepada para pemulung. Pelatihan seperti pemilahan sampah basah dan kering untuk di daur ulang justru bisa memperpanjang usia TPA di benowo. Seharusnya, yang dibuang di Benowo adalah sampah yang sudah tak bisa dimanfaatkan lagi.

            Terakhir, tempat penampungan sampah Keputih Sukolilo Surabaya yang dikenal sebagai tempat pemulung. Walaupun ada yang sudah tamat, namun di RT 2 RW 8 sekarang ini menjadi pemukiman pengepul dan pemulung sampah. Meskipun lingkungan yang jorok, anak – anak tetap menikmati suasana tinggal di daerah tersebut. Di daerah keputih ini, terdapat sosok pemulung yang bertubuh kecil, sedikit bungkuk dengan pakaian kerja terbaiknya mengelilingi kampung di kawasan keputih tersebut untuk meniti setia bak sampah. Langkah kecil yang cepat dan sigap menuntunnya berpindah dari rumah- tiap rumah, dari persimpangan jalan satu dengan jalan lain untuk menemukan barang tak berguna yang bisa ia jual. Baginya waktu adalah uang. Ungkap Pak Mul.
            Dengan berjalan tanpa menggunakan alas kaki apapun, Pak Mul yang hidup bersama istrinya tersebut mencari uang dengan memilah barang – barang bekas yang dihasilkan seperti kaleng bekas, botol plastik, karton, dan lainnya ketika mencari di daerah keputihan. Pak mul mulai berjalan dari pagi subuh, agar tidak ketinggalan dengan pemulung muda lainnya.
            Pak Mul beserta istrinya hanya tinggal di rumah berukuran 3 x 3, anak mereka sudah menikah dan memiliki keluarga. Pak mul ( 60 ) tidak ingin menyusahkan anaknya. “ sesekali anak saya datang untuk menjenguk saya” ungkap Pak Mul dengan menggunakan celana panjang serta kaos oblong.
            Rumah tanpa adanya penerangan ini, membuat Pak mul dan istri  hanya bisa tidur dalam kegelapan. Tanpa ada listrik apapun. Kadang – kadang mereka mendapatkan makanan dari tetangga. Untuk air bersih saja susah. Daerah keputih yang seharusnya sudah tidak ada kampung pemulung ini, tetap ada. Dan salah satunya merupakan tempat tinggal Pak Mul beserta orang – orang lain.
            Mengawali karir sebagai pemulung mulai umur 30 tahun, membuat Pak mul tetap semangat mengais rezeki di hari tua nya. Sebelum menjadi pemulung, pak mul hanya pekerja serabutan. Karena faktor umur, pak mul dipecat. Tidak memiliki pendidikan yang tinggi, menjadikan pak mul sampai saat ini menjadi pemulung yang setia mencari uang.
            Tak hanya itu saja penderitaan Pak Mul, Beliau harus merawat istrinya yang saat itu mengalami kecelakaan sehingga kakinya tidak bisa di gerakkan. Pak Mul merupakan sosok yang setia kepada sang istri. Hidup berdua membuat pak Mul dan Istri tidak memiliki tanggungan hidup yang banyak.

            Jadi, sosok-sosok seperti inilah yang menurut saya sendiri sebagai penulis perlu kita contoh. Kita hidup di kota besar, banyak bangunan yang selalu di bangun kiri kanan, tapi kita sendiri tak pernah memperhatikan masyarakat kecil seperti para pemulung ini. Kita santai, enak, dengan menghirup oksigen. Kita tidak pernah melihat kerja keras para pemulung dalam menjalani kehidupan mereka. mereka harus rela panas-panasan, mencium bau sampah. Kita sebagai manusia harus bisa juga membantu mereka. Surabaya jika dilihat 1: 1, banyak tempat kumuh, dan banyak juga bangunan-bangunan tinggi dan mewah, balap-balapan mengisi ruangan yang kosong di kota ini. Belajar dari sosok – sosok pemulung inilah kita bisa mengerti arti hidup, susah nya untuk hidup di kota besar, dan mencoba untuk menghargai orang lain. Dan khususnya untuk pemerintah, lebih memperhatikan kota kedua di indonesia ini. Jangan serakah, perhatikan lah masyarakat kecil. Tanpa mereka pun, pemerintah tak akan bisa jadi apa-apa. Berkat bantuan mereka juga, kita bebas dari sampah. Jangan hanya mengumbar janji dan pesan, tetapi lebih serius dalam menghadapi kenyataan dunia. Sosok seperti Mak Ya, Bu sri, dan Pak Mul inilah yang patut kita contohi. Dan perlu diperhatikan lagi bahwa tidak hanya sosok Pak Mul, Mak Ya, dan Bu sri saja, anak-anak kecil yang menjadi pemulung pun harus kita perhatikan kehidupan mereka. mereka terlahir dan patut merasakan kehidupan yang ada di dunia ini. Mereka yang harusnya bersekolah, mencapai cita – cita serta prestasi tinggi bukan harus mengais – ngais sampah demi kehidupan mereka. Memulung adalah nafas kehidupan mereka, dan harus kita hargai hasil kerja keras mereka, karena jikalau kita menghargai hasil kerja keras orang lain, maka kita pun akan di hargai orang lain juga. (nira) Word Count ( 2008 )

3 komentar:

  1. Pengelolaan sampah, gudang sampah,pengepul sampah, kandang ayam, dll sebaiknya ttdk diletakan di tengah pemukiman. Karena mencemari udara,tanah dan air. Lingkungan yg bersih dan Sehat bukan hanya milik perumahan elite..tolong jauhkan itu semua dari kampung masyarakat luas...

    BalasHapus
  2. Tolong berikan 3 pertanyaannya

    BalasHapus
  3. Tolong berikan 3 pertanyaannya

    BalasHapus