SURABAYA– Terik matahari mulai memancarkan cahayanya di pagi hari,
seorang ibu paruh baya pun mulai menarik gerobak kecil nya. Dengan penuh
semangat, ibu itu bekerja dengan suaminya.
Hembusan angin mulai berhembus,
waktu pun berjalan, seorang wanita paruh baya mulai menjalani kehidupannya
dengan mengais sampah. Mak ya yang biasa di sapa ini mulai mencari barang –
barang dari tempat sampah warga, mengangkat nya dan membuangnya ke tempat
pembuangan akhir.
Mak Ya (63) hidup bersama sang suami
Pak Min (57) dan juga sang ibunda (85). Ibu dari 3 anak ini bekerja sebagai
pemulung dari pagi hingga sore hari. Dengan di temani oleh sang suami, Mak Ya
menjadi begitu semangat dalam menjalani kehidupannya.
Dengan keterbatasan ekonomi, Mak Ya
sebagai seorang ibu khawatir jika
anaknya tak memiliki masa depan. Anak pertama Mak Ya sudah kawin dan memilih
tinggal di kampung halaman, anak ke 2 Mak Ya sekolah pelayaran di Kalimantan, sedangkan anak ke 3 Mak Ya hanya sampai tamat SMP. Anak
ke 3 ini memilih tidak sekolah karena tidak
ingin menyusahkan Mak Ya.
Tak hanya itu saja, Mak Ya juga
merupakan sosok wanita yang patut di banggakan. Sosok wanita yang ingin bekerja
keras demi menghidupi kehidupan keluarga. Suami Mak Ya memiliki keterbatasan
mental, dan suka senyum - senyum sendiri
bila di tanya. Dengan keterbatasan yang dimiliki oleh sang suami, tidak
menjadikan Mak Ya untuk malu dan bosan untuk merawat dan menjaga suaminya.
Meskipun begitu, sang suami pun bisa membantu Mak Ya berjalan untuk mengais
sampah di rumah – rumah warga.
Dalam menjalani pahitnya kehidupan
di kota besar saat ini, Mak Ya tetap bekerja keras meskipun harus mengais
sampah. Beliau tidak memiliki cita – cita yang tinggi, atau harapan yang besar
tentang kehidupannya di masa mendatang. “ Cita – cita saya tidak ada, yang
penting saya bisa makan, itu sudah cukup”, ungkap Mak Ya saat di tanyai.
Tak ada rasa malu pun yang di
rasakan oleh Mak Ya, walaupun rumah yang dimilikinya tidak sebesar dengan rumah
milik tetangganya. Rumah kecil, di penuhi dengan kursi diruang tamu yang di
berikan koran dan karton, serta tempat tidur kasur untuk Pak Min dan Mak Ya
serta Ibunda Mak Ya sudah cukup berarti untuk Mak Ya.
Suara Maghrib pun mulai
berkumandang, Mak Ya dan Pak min yang sehari – hari nya duduk di Mesjid pun
tidak pernah melakukan aktivitas selayaknya orang beribadah. Masjid yang
berdekatan dengan rumah mereka tersebut dulu milik almarhum Ayah Mak Ya, tapi
setelah almarhum Ayah mak Ya meninggal, mesjid tersebut sudah di beli oleh
warga. Hasil warisan dari almarhum ayah Mak Ya diberikan kepada sang ibu.
Dengan kerja keras yang dilakukan
Mak Ya beserta sang suami, Pak Min, akhirnya mereka bisa membeli sebuah gerobak
sampah untuk mereka keliling memulung sampah, tanpa harus menggunakan karung
goni lagi. Selama 30 tahun bekerja sebagai pemulung, dan dengan menyisihkan
sebagian uang, akhirnya mereka sepakat membeli gerobak dan juga hasil dari
kerja keras mereka di hasilkan dengan membuka waring kecil – kecilan di halaman
rumah mereka.
Meskipun begitu, Mak Ya juga
mempunyai keluh kesah yang ia rasakan di kota besar ini, “ saya capek
sebenarnya, tapi kalau nggak kerja, nggak dapat uang, nggak bisa makan, buka
warung banyak saingannya, nama nya ya hidup, ada susah, ada senang”.
Mak Ya di mata para tetangganya
merupakan sosok yang baik, ramah, dan
juga pekerja keras. Meskipun orang yang suka mood – moodan, ia tetap merupakan
sosok yang perlu di contoh. Jarang perempuan menarik gerobak sampah demi
mencari uang untuk kehidupan.
Saat di mintai keterangan, Mak Ya
yang tidak ingin menyebutkan nama aslinya ini hanya ingin warga sekitar lebih
memperhatikan kebersihan. “Jika di sediakan tempat sampah, buanglah sampah itu
pada tempatnya. Jangan membuang di lantai.”
Berbeda dengan Mak Ya, (27/12) Bu
Sri sapaan sosok ibu yang bekerja menjadi pemulung di TPA ( Tempat Pembuangan
Akhir ) Benowo ini. Bu Sri ( 46 ) ini memiliki 4 anak yang masih kecil – kecil,
yakni Lulu (14), Mila ( 10 ), Kiki ( 7 ), serta Soni ( 5 ). Bu Sri yang tinggal
dekat penampungan sampah ini mengais rejeki bersama sang suami. Dengan tumpukan
sampah yang menumpuk tak membuat Bu Sri beserta sang suami malu untuk mengais
rejeki. Meskipun bau dan resiko yang harus dihadapi oleh suami istri ini.
Bu Sri yang biasa di sapa Mbak Ri
ini sudah 10 tahun tinggal di daerah benowo tersebut. Sebelumnya ia tinggal di
dekat jembatan. Karena waktu itu, tempat ia tinggal di bongkar karena tidak
memiliki izin. Ia di ajak oleh sang
suami untuk tinggal di daerah TPA Benowo ini. Mbak Ri tak bisa berbuat apa –
apa, hanya bisa mengikuti sang suami.
Selain manusia yang menginjak-injak
tumpukan sampah tersebut, di situ juga terdapat seekor sapi yang juga memakan
makanan atau mencari makanan dari tumpukan sampah tersebut. Seperti yang kita
tahu, tumpukan sampah tersebut sudah mengandung karbondioksida yang tidak bagus
untuk kesehatan manusia maupun hewan. Namun sapi tersebut tetap memakan makanan
dari tumpukan sampah tersebut yang justru membahayakan kesehatan sapi tersebut
dan juga pemiliknya.
Tumpukan sampah di TPA Benowo ini
pernah memakan korban, yang salah satunya merupakan teman dari mbak Ri ini,
tumpukan sampah jatuh mengenai korban. Korban pun meninggal di bawah tumpukan
sampah yang jatuh menimpanya.
TPA Benowo ini sudah sangat terkenal
di kalangan masyarakat dengan berbagai kasus, dimana warga sekitar ingin bahwa
pemerintah segera membersihkan TPA benowo ini segera karena mengganggu
kenyamanan warga sekitar dengan bau busuk dari tempat pembuangan
sampah tersebut. Ketika kawasan di Benowo itu baru dijadikan TPA warga sempat
menghadangnya. Tapi, Pemkot meredam kemarahan warga Benowo dengan janji-janji
muluknya. Salah, satu janjinya menjaga agar bau sampah tidak keluar ke
perkampungan. Caranya, dengan cara menutup gundukan sampah dengan sirtu (pasir
batu). Namun, kenyataannya sekarang ini bau sampah masih mengalir keluar TPA
secara liar alias tidak terkendali.
Mendengar akan hal itu, Bu Sri
sempat khawatir, karena ia mencari rejeki dari mengais sampah tersebut. “ saya
tidak sekolah mbak, jadi gimana saya mencari uang untuk menghidupi anak-anak
saya, ini satu – satunya tempat saya mencari uang dengan memulung barang
bekas”.
Dengan kehidupan ekonomi sekarang
ini, Bu Sri tidak berharap banyak, ia hanya ingin anak – anaknya mendapatkan
asupan gizi yang cukup. Karena tinggal di tempat kumuh seperti ini, anak - anaknya justru harus membantu ia untuk
mengais rezeki dengan mengambil atau memulung barang - barang bekas. Dengan biaya seadanya, makan
secukupnya.
Bu Sri berharap bahwa “pemerintah
lebih peduli terhadap masyarakat kecil. Pemerintah tidak cuek pada masyrakat
kecil”. Ungkapan hati bu Sri karena ia merasa tidak dihargai oleh pemerintah.
Ia tidak mendapatkan apa yang seharusnya Ia dapatkan ketika ia harus mengais
rezeki seperti itu.
Saat menemui warga sekitar benowo,
Bu Marta (49) seorang ibu rumah tangga mengatakan bahwa “ Pemkot Surabaya,
cepatlah turun tangan, jangan hanya berbicara di depan media saja jika ingin
merealisasikan pembersihan TPA ( Tempat Pembuangan Akhir ) benowo ini”.
Laksanakan tugas Pemkot, percuma Surabaya dikenal dengan kota Green &
Clean, kalau ternyata masih banyak tempat yang seperti di Benowo ini. Kami
butuh udara yang bebas dari bau sampah ini.
Pemkot mungkin remeh dalam menyikapi
hal ini, tapi dengan banyaknya tumpukan sampah yang menggunung itupun dapat
menyebabkan resiko yang sangat besar. Seperti awal september lalu, terjadi
kebakaran di TPA Benowo ini. Dari tumpukan
sampah yang menggunung tersebut keluar kepulan asap dan api yang cukup besar.
Kemungkinan kebakaran terjadi akibat
pertama karena gesekan material yang
mengeluarkan percikan api, kedua karena puntung rokok dan ketiga karena gas
yang dihasilkan oleh sampah. Dengan cuaca yang panas, justru
memungkinkan kebakaran dapat terjadi dengan gesekan material tersebut.
Bu Marta, warga benowo hanya
berharap bahwa pemerintah bisa menjadikan pemulung sampah sebagai pemerhati
kebersihan sebagai cara
menghapus penilaian negatif masyarakat terhadap para pemungut sampah itu seperti yang dilakukan
oleh pemerintah samarinda terhadap pemulung di Samarinda.
Selain
di TPA Benowo dan Pemulung di daerah kedung doro, dapat ditelusuri lagi bahwa
Surabaya merupakan kota yang dipilih oleh Perusahaan Jepang, Beetle yang
bergelut di dunia sampah, dan melakukan pelatihan pengelolaan sampah di
Surabaya. Perusahaan Jepang ini memilih Surabaya karena kondisi kota yang
nyaris sama penuh dengan sampah. Kota Kiyushu salah satunya merupakan kota yang
per harinya menghasilkan sampah 1300 ton, sementara di surabaya yang
penduduknya lebih banyak hanya menghasilkan 1200 per hari.
Kondisi
seperti ini membuat tim dari Beetle datang ke Surabaya dan memilih tempat
pembuangan sementara Sutorejo. Tim itu juga melakukan studi tentang sampah di
Surabaya dan memberikan pelatihan kepada para pemulung. Pelatihan seperti
pemilahan sampah basah dan kering untuk di daur ulang justru bisa memperpanjang
usia TPA di benowo. Seharusnya, yang dibuang
di Benowo adalah sampah yang sudah tak bisa dimanfaatkan lagi.
Terakhir, tempat penampungan sampah
Keputih Sukolilo Surabaya yang dikenal sebagai tempat pemulung. Walaupun ada
yang sudah tamat, namun di RT 2 RW 8 sekarang ini menjadi pemukiman pengepul
dan pemulung sampah. Meskipun lingkungan yang jorok, anak – anak tetap
menikmati suasana tinggal di daerah tersebut. Di daerah keputih ini, terdapat
sosok pemulung yang bertubuh kecil, sedikit bungkuk dengan pakaian kerja
terbaiknya mengelilingi kampung di kawasan keputih tersebut untuk meniti setia
bak sampah. Langkah kecil yang cepat dan sigap
menuntunnya berpindah dari rumah- tiap rumah, dari persimpangan jalan satu
dengan jalan lain untuk menemukan barang tak berguna yang bisa ia jual. Baginya
waktu adalah uang.
Ungkap Pak Mul.
Dengan berjalan tanpa menggunakan
alas kaki apapun, Pak Mul yang hidup bersama istrinya tersebut mencari uang
dengan memilah barang – barang bekas yang dihasilkan seperti kaleng bekas,
botol plastik, karton, dan lainnya ketika mencari di daerah keputihan. Pak mul
mulai berjalan dari pagi subuh, agar tidak ketinggalan dengan pemulung muda
lainnya.
Pak Mul beserta istrinya hanya tinggal
di rumah berukuran 3 x 3, anak mereka sudah menikah dan memiliki keluarga. Pak
mul ( 60 ) tidak ingin menyusahkan anaknya. “ sesekali anak saya datang untuk
menjenguk saya” ungkap Pak Mul dengan menggunakan celana panjang serta kaos
oblong.
Rumah tanpa adanya penerangan ini,
membuat Pak mul dan istri hanya bisa
tidur dalam kegelapan. Tanpa ada listrik apapun. Kadang – kadang mereka
mendapatkan makanan dari tetangga. Untuk air bersih saja susah. Daerah keputih
yang seharusnya sudah tidak ada kampung pemulung ini, tetap ada. Dan salah
satunya merupakan tempat tinggal Pak Mul beserta orang – orang lain.
Mengawali karir sebagai pemulung
mulai umur 30 tahun, membuat Pak mul tetap semangat mengais rezeki di hari tua
nya. Sebelum menjadi pemulung, pak mul hanya pekerja serabutan. Karena faktor
umur, pak mul dipecat. Tidak memiliki pendidikan yang tinggi, menjadikan pak
mul sampai saat ini menjadi pemulung yang setia mencari uang.
Tak hanya itu saja penderitaan Pak
Mul, Beliau harus merawat istrinya yang saat itu mengalami kecelakaan sehingga
kakinya tidak bisa di gerakkan. Pak Mul merupakan sosok yang setia kepada sang
istri. Hidup berdua membuat pak Mul dan Istri tidak memiliki tanggungan hidup
yang banyak.
Jadi, sosok-sosok seperti inilah
yang menurut saya sendiri sebagai penulis perlu kita contoh. Kita hidup di kota
besar, banyak bangunan yang selalu di bangun kiri kanan, tapi kita sendiri tak
pernah memperhatikan masyarakat kecil seperti para pemulung ini. Kita santai,
enak, dengan menghirup oksigen. Kita tidak pernah melihat kerja keras para
pemulung dalam menjalani kehidupan mereka. mereka harus rela panas-panasan,
mencium bau sampah. Kita sebagai manusia harus bisa juga membantu mereka.
Surabaya jika dilihat 1: 1, banyak tempat kumuh, dan banyak juga
bangunan-bangunan tinggi dan mewah, balap-balapan mengisi ruangan yang kosong
di kota ini. Belajar dari sosok – sosok pemulung inilah kita bisa mengerti arti
hidup, susah nya untuk hidup di kota besar, dan mencoba untuk menghargai orang
lain. Dan khususnya untuk pemerintah, lebih memperhatikan kota kedua di
indonesia ini. Jangan serakah, perhatikan lah masyarakat kecil. Tanpa mereka
pun, pemerintah tak akan bisa jadi apa-apa. Berkat bantuan mereka juga, kita
bebas dari sampah. Jangan hanya mengumbar janji dan pesan, tetapi lebih serius
dalam menghadapi kenyataan dunia. Sosok seperti Mak Ya, Bu sri, dan Pak Mul
inilah yang patut kita contohi. Dan perlu diperhatikan lagi bahwa tidak hanya
sosok Pak Mul, Mak Ya, dan Bu sri saja, anak-anak kecil yang menjadi pemulung
pun harus kita perhatikan kehidupan mereka. mereka terlahir dan patut merasakan
kehidupan yang ada di dunia ini. Mereka yang harusnya bersekolah, mencapai cita
– cita serta prestasi tinggi bukan harus mengais – ngais sampah demi kehidupan
mereka. Memulung adalah nafas kehidupan mereka, dan harus kita hargai hasil
kerja keras mereka, karena jikalau kita menghargai hasil kerja keras orang
lain, maka kita pun akan di hargai orang lain juga. (nira) Word Count ( 2008 )
Pengelolaan sampah, gudang sampah,pengepul sampah, kandang ayam, dll sebaiknya ttdk diletakan di tengah pemukiman. Karena mencemari udara,tanah dan air. Lingkungan yg bersih dan Sehat bukan hanya milik perumahan elite..tolong jauhkan itu semua dari kampung masyarakat luas...
BalasHapusTolong berikan 3 pertanyaannya
BalasHapusTolong berikan 3 pertanyaannya
BalasHapus