Social Icons

Facebook  Twitter  Google+ 

Jumat, 14 Desember 2012

Asa di Bawah Bias Lampu Jalanan


Langit Kota Pahlawan senja itu tampak mendung, namun masih terlihat sinar senja menerobos diantara gedung bertingkat yang menjulang tinggi. Nampak segerombol anak dengan tangan kecil mereka menghitung rupiah sembari tersenyum pertanda asa dibawah pojok lampu merah hari itu tidak sia-sia.
Tepatnya awal Desember disalah satu jalanan protokol di Dukuh Kupang, beberapa anak jalanan dengan setumpuk koran dipangkuan tengah bersantai sejenak menikmati pemandangan yang berhias asap hitam kendaraan bermotor. Tidak jauh dari situ, ada pula sebagian dari mereka yang berbekal alat pengais sampah bekas dan kantong plastik besar melaju diantara debu jalanan. Ada pula yang mengamen berharap mendapat sedikit receh dari kendaraan yang berhenti di lampu merah. Usia mereka semua terbilang masih belia kira-kira usia sekolah dasar hingga menengah.

Ngamen hari ini dapat nya Rp.27.000, lumayan lah kak, jadi bisa dibagi buat jajan,” ungkap Tia (12) seraya menyerumput es jeruk di tangannya. Sempat di razia Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), tidak membuat nya takut untuk kembali ke jalanan. “Kalau gak ngamen berarti gak ada yang ngasih duit, jadi harus kembali lagi kesini,” ujar Tia.
Hal senada juga diungkap Ardi (17) mengenai alasannya untuk tetap kembali ke jalanan walau sudah berulang kali ditangkap Satpol PP. “Sudah dari kecil saya hidup di jalanan tanpa keluarga, dipukul, di penjara karena mencuri makanan hingga hampir ditembak preman sudah pernah saya alami, tapi saya harus tetap bertahan untuk hidup,” ungkap Ardi yang bermimpi “mengecap” bangku sekolah suatu saat nanti.
Kisah Tia dan Ardi hanyalah satu sisi kehidupan anak jalanan (anjal). Persaingan ketat untuk mendapatkan rupiah membuat kehidupan mereka semakin keras. Berdasarkan data yang dilansir Dinas Sosial Surabaya dari tahun ke tahun terdapat peningkatan jumlah anjal. Jumlah anjal tahun 2001 mencapai 1.441 anjal, tahun 2002 terhitung ada 1.852 anjal, tahun 2003 mencapai 2.310 anjal, tahun 2004 mencapai 2.417 anjal. Tren kenaikan anak jalanan di Surabaya menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas penananganan anak jalanan di Surabaya. Dari data Dinas Sosial mencatat bahwa di tahun 2003 dari 2.310 anak jalanan tersebut 1.797 anak jalanan ialah laki-laki dan sisanya 541 anak adalah perempuan.
“Anak jalanan adalah fenomena gunung es yang hanya terlihat di permukaan. Keberadaan anak di jalanan semestinya menjadi fokus perhatian petinggi pemerintahan dan elit politik. Bukan hanya kerjaan penggiat sosial atau LSM kemanusiaan. Mereka adalah generasi penerus bangsa yang hak-haknya terampas dan teranianya akibat kemiskinan,” urai Dadan anggota LSM pemerhati kehidupan anak jalanan.
Dadan menambahkan Selain harus kehilangan masa kanak-kanaknya, anjal juga rentan diekplotasi secara ekonomi, fisik-seksual, dan psikis. Mereka rawan terhadap kriminalisasi, pelecehan seksual, dan penyalahgunaan obat-obat haram serta tertular penyakit berbahaya. “Mereka butuh kepedulian, perlindungan, dan pendampingan. Bukan sekadar urang recehan atas belas kasihan. Anak jalanan butuh perhatian dan kasih sayang. Mereka perlu ruang belajar dan penyaluran aspirasi sesuai dengan perkembangan anak pada umumnya,” jelas Dadan.
Menurut Siti Marini Wulandari, M.Psi. pada kenyataannya banyak anak jalanan memiliki orantua yang lengkap, namun kondisi hubungan antara ayah-ibu yang menyebabkan ketidaknyamanan anak untuk tinggal dirumah sehingga lebih memilih untuk hidup di jalan. Selain itu, ekonomi yang menjadi faktor utama peningkatan jumlah anak jalanan sangat berpengaruh besar karena masalah ekonomi juga sebagai penyebab ketidakharmonisan dalam hubungan suami-istri.
Siti menambahkan orangtua yang sering bertengkar akan mempengaruhi sikap dan mental anak-anaknya. Kekerasan dalam rumah tangga juga sangat berpengaruh buruk terhadap kondisi anak. “Hal ini yang menjadi penyebab anak lebih memilih hidup di jalanan dibandingkan harus tinggal di rumah bersama orantuanya. Anak akan mencari lingkungan baru di luar rumahnya sehingga tidak menutup kemungkinan anak akan terjerumus dalam pergaulan yang tidak sehat seperti kebanyakan anak-anak remaja yang hidup di pinggir jalan,” jelas Siti yang merupakan konselor di My Hommy Day Care di Surabaya.
Lebih lanjut Siti menyatakan bahwa suasana rumah yang kurang harmonis dapat menyebabkan anak tidak betah di rumah, sehingga mereka melarikan diri mencari kebahagiaan, keberadaan anjal pun sering meresahkan masyarakat. “Anak jalanan merupakan komunitas yang relatif baru dalam kehidupan di pinggiran perkotaan, setelah kaum gelandangan, pemulung, pekerja seks kelas rendah, selain itu mereka juga dianggap sebagai “virus sosial” yang mengancam kemapanan hidup masyarakat, artinya anak jalanan dianggap sebagai anak nakal, tidak tahu sopan santun, brutal, serta pengganggu ketertiban masyarakat,” jelas ibu satu anak ini.
Apa yang dilontarkan Siti sejalan dengan yang dialami Ade (17), baginya tidak ada tempat yang lebih buruk dari rumah sendiri. “Saya tidak ingin kembali ke rumah dan tidak ingin dipukuli Ayah setiap hari. Lebih baik menjadi gelandangan yang bebas merdeka diluar sini daripada tertekan berada di rumah sendiri,” urai Ade yang tengah beristirahat sejenak dengan sepotong kue pisang di tangannya.
Ade yang sehari-harinya menekuni dunia tarik suara versi jalanan di perempatan lampu merah Jembatan Merah Plaza (JMP) Surabaya, mengaku sudah lima tahun menjalani profesinya ini. “Untuk ukuran karir musisi jalanan, saya mungkin sudah bisa dianggap profesional. Tapi, apalah artinya ini bila dibandingkan dengan dunia musik yang sesungguhnya. Tentu saya hanya seekor “kutu kupret” yang tidak bisa apa-apa. Lha wong penyanyi dan band yang sudah sangat beken di Indonesia saja tidak laku kalau dibawa ke luar negeri, apalagi saya,” ujar Ade yang sempat mengecap pendidikan hingga kelas lima SD.
Disamping Ade bersila pula dua teman kecilnya yang senasib, Selvi (12) dan Yono (8), keduanya adalah kakak beradik yang juga mencari peruntungan dibawah bias lampu jalanan. Sambil mengeluarkan tiga lembar seribuan dari kantong celananya yang lusuh, Selvi berlari ke warung sebelah membeli sebungkus nasi untuk menjawab perut yang sedari tadi teriak minta diisi. Cuman nasi putih dan dua potong tempe goreng memang, tapi sorot mata kakak beradik ini seolah mengatakan bahwa ini adalah kemewahan sesungguhnya bagi mereka.
Kebanyakan anjal di daerah JMP ini tidak bersekolah. Ada beberapa yang sekolah dan itupun keadaannya terancam putus  sekolah. Baik karena tidak adanya biaya, maupun daya tarik lingkungan jalanan terhadap anak-anak yang membuat mereka semakin lama semakin betah di jalanan. Niat membantu orangtua dan uang yang didapat dijalanan semakin meredam semangat mereka untuk mengenyam pendidikan. “Orang tua udah gak sanggup biaya sekolah lagi jadi mending ngamen disini biar bisa dapat uang untuk bantu orang tua,” ungkap Ria (15) yang putus sekolah sejak kelas lima SD ini.
Hidup di jalan bukanlah suatu pilihan tepat bagi anak kecil usia mereka, mencoba mengais rezeki dengan cara halal melalui berjualan koran adalah salah satu upaya jalan guna melepaskan belenggu kemiskinan. Mam (13) begitu sapaan akrabnya, memang sudah terbiasa menghirup asap jalanan, dibawah terik panas matahari menyengat, bahkan sering kali terkena razia Satpol PP. Mam tidak bekerja sendiri disana, ada temannya juga, usianya tidak terpaut jauh hanya beberapa tahun saja, setahun, ya kurang lebih seperti itu, dia masih berstatus sebagai pelajar di salah satu SMP Swasta di kota Surabaya, sebagian besar hari-harinya dihabiskan di jalanan, seusai pulang sekolah, dia ia tidak lupa membantu orang tuanya, membereskan rumah sebentar, kemudian dilanjutkan istirahat tidur. Lantas pada waktu sore harinya ia bekerja sampingan menjadi loper koran, tak jarang sampai larut malam baru kunjung pulang, tergantung pada laku tidak terjualnya koran. “Kalau koran laris terjual, ya tidak sampai larut malam kak,” ungkap Mam yang juga menambah penghasilan dengan mengumpulkan barang bekas.
Momentum Bebas Anak Jalanan
Jarum jam yang menunjuk angka 12 pertanda saatnya makan siang bagi para pegawai kantoran, tidak terkecuali para “laskar” matahari yang juga butuh waktu sejenak untuk melepas lelah, salah satunya Wahyu (19). Tatapan matanya yang tajam memandang kendaraan hilir mudik, dengan ukulele tua yang masih tergenggam erat ditangannya dan wajah yang tampak jauh lebih dewasa dibandingkan usianya, seolah menyiratkan kerasnya hidup yang selama ini ia jalani.
Di sudut emperan toko Dukuh Kupang tepatnya, Wahyu berbagi kisah tentang hidup dan mimpinya. “Jangan tanya siapa ayah atau ibu, karena saya adalah yatim piatu yang tak mengenal orang tua, keluarga adalah mereka yang senasib dan terbuang seperti saya,” tutur Wahyu.
“Coba tengok di balik gedung itu. Nyamannya mereka, tidak kepanasan duduk disana, mendapatkan pendidikan, mendapatkan teman pula. Inginnya saya bersekolah. Tapi uang dari mana? Bagaimana bisa? Kalaupun telah ada sekolah gratis, belum tentu yang lainnya gratis. Kalaupun saya sekolah, bagaimana bisa mencari uang? Hm...saya tidak seberuntung mereka,” ungkap Wahyu.
Untuk mendapat rupiah diakui Wahyu, dirinya sering berpindah tempat, Dukuh Kupang, JMP, Terminal Joyoboyo hingga Mayjen Sungkono menjadi lahan pekerjaannya. “Tempat saya di jalanan, perempatan, dan warung-warung, dengan lagu dan setumpuk koran saya mencari uang. Anak jalanan, anak terlantar, apapun kata orang saya tak peduli. Buat saya yang terpenting adalah bagaimana menyambung nyawa,” urai Wahyu.
Kisah Wahyu adalah 1001 potret anjal di tanah air. Kehidupan berpindah-pindah yang dilakoni Wahyu merupakan salah satu mobilitas tinggi anjal yang sudah hidup lama di jalanan. “Mereka yang mobilitasnya tinggi (berpindah-pindah tempat sesuka hati dalam beroperasi) ini adalah mereka yang sudah lama berada dijalanan dan sudah tergabung dalam kelompok tertentu.  Di Surabaya ada kelompok anak jalanan yang mobilitanya tinggi, mereka adalah “Kelompok Joyoboyo“ yang keberadaannya cukup disegani di komunitas jalanan lainnya. Mereka ini terdiri dari anak-anak yang sudah lama berada dijalanan, baik yang memang berasal dari keluarga jalanan maupun tidak,” jelas Elra salah satu aktivis Save Street Child Surabaya dalam acara Dolonan Surabaya yang diadakan oleh komunitas ini pada Minggu (9/12) di Royal Plaza Surabaya.
Menurut Elra, mobilitas tinggi ini memang merupakan salah satu karakter yang menjadi kendala untuk menangani anjal. Disamping karakter dan faktor lain yang cukup menentukan juga. Namun demikian mobilitas tinggi inilah yang mengakibatkan sulitnya mendata mereka apalagi menanganinya. Hingga tak mengherankan bila penanganan anak jalanan terkesan berjalan ditempat. ”Memang sudah banyak penanganan dengan berbagai bentuk mulai dari home base sampai street base. Namun jumlah anak jalanan tidak pernah berkurang bahkan cenderung meningkat jumlahnya. Bahkan sekarang anak jalanan hampir ada disemua lampu lalulintas di Surabaya ini. Kegiatan merekapun bermacam macam mulai dari pengamen, asongan sampai minta-minta,” kata Elra.
“Sungguh ironis melihat kenyataan generasi penerus bangsa ini nantinya, harus berkutat di atas jalanan. bekerja dibawah usia anak-anak, dan satu hal lagi tanpa mempertimbangkan masa depan mereka kedepan, hanya mengharap kehidupan esok lebih baik dari hari sebelumnya,” ungkap Elra. Elra menambahkan, perkembangan kota di segala bidang tampaknya tidak hanya memberikan nuansa positif bagi kehidupan masyarakat. Namun juga melahirkan persaingan hidup, sehingga muncul fenomena kehidupan yang berujung pada kemiskinan.
“Seperti yang kita ketahui bersama secara psikologis dalam pribadi anak jalanan itu berbeda sekali dengan kehidupan dan karakter kita sebagai masyarakat awam, bukannya bermaksud untuk memperbandingkan strata sosial, tapi hanya saja ya itu lah anak jalanan yang hidup bebas di luar tanpa ada kontrol dan pengawasan dari orang terdekat, yang ditakutkan adalah dalam memanage atau mengelola tabungan tersebut, apakah memang nantinya uang tersebut dipergunakan sebagaimana mestinya, atau malah sebaliknya? misalnya tabungan tersebut dapat dialokasikan sebagai modal usaha, membuka lapangan pekerjaan kecil-kecilan. Besar harapan saya semoga tabungan tersebut tepat sasaran, tidak masuk ke kantong-kantong pribadi oknum-oknum yang tak bertanggung jawab,” urai Elra.
“Anak jalanan adalah produk kemiskinan, maka harus ditemukan solusi yang tepat dalam mengatasinya. Misalnya dengan pengadaan rumah singgah yang benar-benar sesuai standar rumah singgah, seperti harus memiliki fasilitas termasuk kualitas SDM untuk memenuhi segala kebutuhan dari anak jalanan, diperlukan pengolahan rumah singgah yang baik, kerjasama antar instansi terkait atau LSM, serta harus menggali kebutuhan dari anak-anak jalanan,” ungkap Kepala Dinas Sosial Surabaya, Eko Hariyanto di sela-sela kegiatan Surabaya Dolanan.
Eko menambahkan, kasus pedofilia yang terjadi di Jakarta, Surabaya beberapa tahun yang lalu dan menghebohkan Indonesia baru-baru ini merupakan momentum yang baik untuk mengurangi, bahkan meniadakan anak jalanan dan pekerja anak di jalanan. “Mereka dilarang turun ke jalanan karena jalanan rentan dan berbahaya. Banyak hak-hak mereka dirampas. Padahal untuk tumbuh dan berkembang dengan baik, hak-hak mereka harus diberikan. Mereka  juga butuh lingkungan yang kondusif,” jelas Eko.
“Momentum ini sejalan dengan program pemerintah pusat mewujudkan Indonesia bebas anak jalanan. Lalu bagaimana mengatasinya masyarakat miskin dan anak jalanan ini? Mengurangi kemiskinan tetap harus jalan seiring dengan visi, misi dan program pemerintah baik provinsi maupun kota atau kabupaten. Jumlah masyarakat miskin harus dikurangi secara bertahap. Program pengetasan kemiskinan tersebut harus tepat sasaran sehingga ada peningkatan kesejahteraan, dari masyarakat miskin menjadi masyarakat yang tidak lagi miskin. Ada peningkatan kualitas kehidupan, peningkatan pendidikan sehingga banyaknya anak-anak miskin yang bisa bersekolah,” urai Eko.
Eko menambahkan, pemerintah wajib memberikan pendidikan gratis kepada mereka sehingga anak-anak jalanan itu tidak mesti mengemis atau menjual koran dulu agar bisa sekolah. “Jika program pengentasan kemiskinan sukses, pendidikan sudah merata maka pemerintah ikut merasakan manfaatnya. Beban subsidi pemerintah bisa dikurangi, kualitas SDM meningkat, angka kriminal berkurang, investor semakin banyak, pendapatan daerah meningkat dan lain sebagainya. Jika sudah seperti itu, jangan merasa takut terganggu keseimbangan kota dengan berkurangnya masyarakat miskin. Justru sebaliknya, semakin menguntungkan,” tambah Eko.
Kegiatan Surabaya Dolanan ini sempat diisi pembacaan puisi oleh seorang anjal. Puisi yang menjadi suara anjal, suara yang menunggu untuk didengar dan dirangkul. Terlahir tanpa keinginan, tanpa kepastian hendak jadi apa, tercipta tanpa suara, tanpa tanya hendak kemana dan kau rasa aku adalah sampah penuh bakteri dan infeksi. Akulah ribuan cita dan asa yang terbuang sia-sia diantara ribuan hujatan dan cacian menghakimi. Satu pelajaran yang ku dapat, bahwa jalanan mengajari ku untuk tidak mudah percaya pada mulut manis seperti mu. Itulah sepotong bait dari mereka yang menyebut diri sebagai “pecundang jalanan”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar