Langit Kota Pahlawan
senja itu tampak mendung, namun masih terlihat sinar senja menerobos diantara
gedung bertingkat yang menjulang tinggi. Nampak segerombol anak dengan tangan
kecil mereka menghitung rupiah sembari tersenyum pertanda asa dibawah pojok
lampu merah hari itu tidak sia-sia.
Tepatnya awal
Desember disalah satu jalanan protokol di Dukuh Kupang, beberapa anak jalanan
dengan setumpuk koran dipangkuan tengah bersantai sejenak menikmati pemandangan
yang berhias asap hitam kendaraan bermotor. Tidak jauh dari situ, ada pula
sebagian dari mereka yang berbekal alat pengais sampah bekas dan kantong
plastik besar melaju diantara debu jalanan. Ada pula yang mengamen berharap
mendapat sedikit receh dari kendaraan yang berhenti di lampu merah. Usia mereka
semua terbilang masih belia kira-kira usia sekolah dasar hingga menengah.
“Ngamen hari ini dapat nya Rp.27.000, lumayan
lah kak, jadi bisa dibagi buat jajan,” ungkap Tia (12) seraya
menyerumput es jeruk di tangannya. Sempat di razia Satuan Polisi Pamong Praja
(Satpol PP), tidak membuat nya takut untuk kembali ke jalanan. “Kalau gak ngamen berarti gak ada yang ngasih duit, jadi harus kembali lagi kesini,”
ujar Tia.
Hal senada juga
diungkap Ardi (17) mengenai alasannya untuk tetap kembali ke jalanan walau
sudah berulang kali ditangkap Satpol PP. “Sudah dari kecil saya hidup di
jalanan tanpa keluarga, dipukul, di penjara karena mencuri makanan hingga
hampir ditembak preman sudah pernah saya alami, tapi saya harus tetap bertahan
untuk hidup,” ungkap Ardi yang bermimpi “mengecap” bangku sekolah suatu saat
nanti.
Kisah Tia dan Ardi
hanyalah satu sisi kehidupan anak jalanan (anjal). Persaingan ketat untuk
mendapatkan rupiah membuat kehidupan mereka semakin keras. Berdasarkan data
yang dilansir Dinas Sosial Surabaya dari tahun ke tahun terdapat peningkatan
jumlah anjal. Jumlah anjal tahun 2001 mencapai 1.441 anjal, tahun 2002
terhitung ada 1.852 anjal, tahun 2003 mencapai 2.310 anjal, tahun 2004 mencapai
2.417 anjal. Tren kenaikan anak jalanan di Surabaya menimbulkan pertanyaan
tentang efektivitas penananganan anak jalanan di Surabaya. Dari data Dinas
Sosial mencatat bahwa di tahun 2003 dari 2.310 anak jalanan tersebut 1.797 anak
jalanan ialah laki-laki dan sisanya 541 anak adalah perempuan.
“Anak jalanan adalah
fenomena gunung es yang hanya terlihat di permukaan. Keberadaan anak di jalanan
semestinya menjadi fokus perhatian petinggi pemerintahan dan elit politik.
Bukan hanya kerjaan penggiat sosial atau LSM kemanusiaan. Mereka adalah
generasi penerus bangsa yang hak-haknya terampas dan teranianya akibat
kemiskinan,” urai Dadan anggota LSM pemerhati kehidupan anak jalanan.
Dadan
menambahkan Selain harus kehilangan masa kanak-kanaknya, anjal juga rentan
diekplotasi secara ekonomi, fisik-seksual, dan psikis. Mereka rawan terhadap
kriminalisasi, pelecehan seksual, dan penyalahgunaan obat-obat haram serta
tertular penyakit berbahaya. “Mereka butuh kepedulian, perlindungan, dan
pendampingan. Bukan sekadar urang recehan atas belas kasihan. Anak jalanan
butuh perhatian dan kasih sayang. Mereka perlu ruang belajar dan penyaluran
aspirasi sesuai dengan perkembangan anak pada umumnya,” jelas Dadan.
Menurut Siti Marini Wulandari, M.Psi.
pada kenyataannya banyak anak jalanan memiliki orantua yang lengkap, namun
kondisi hubungan antara ayah-ibu yang menyebabkan ketidaknyamanan anak untuk
tinggal dirumah sehingga lebih memilih untuk hidup di jalan. Selain itu,
ekonomi yang menjadi faktor utama peningkatan jumlah anak jalanan sangat
berpengaruh besar karena masalah ekonomi juga sebagai penyebab ketidakharmonisan
dalam hubungan suami-istri.
Siti menambahkan orangtua yang sering
bertengkar akan mempengaruhi sikap dan mental anak-anaknya. Kekerasan dalam
rumah tangga juga sangat berpengaruh buruk terhadap kondisi anak. “Hal ini yang
menjadi penyebab anak lebih memilih hidup di jalanan dibandingkan harus tinggal
di rumah bersama orantuanya. Anak akan mencari lingkungan baru di luar rumahnya
sehingga tidak menutup kemungkinan anak akan terjerumus dalam pergaulan yang
tidak sehat seperti kebanyakan anak-anak remaja yang hidup di pinggir jalan,”
jelas Siti yang merupakan konselor di My
Hommy Day Care di Surabaya.
Lebih lanjut
Siti menyatakan bahwa suasana rumah yang kurang harmonis dapat menyebabkan anak
tidak betah di rumah, sehingga mereka melarikan diri mencari kebahagiaan,
keberadaan anjal pun sering meresahkan masyarakat. “Anak jalanan merupakan
komunitas yang relatif baru dalam kehidupan di pinggiran perkotaan, setelah
kaum gelandangan, pemulung, pekerja seks kelas rendah, selain itu mereka juga
dianggap sebagai “virus sosial” yang mengancam kemapanan hidup masyarakat,
artinya anak jalanan dianggap sebagai anak nakal, tidak tahu sopan santun,
brutal, serta pengganggu ketertiban masyarakat,” jelas ibu satu anak ini.
Apa yang
dilontarkan Siti sejalan dengan yang dialami Ade (17), baginya tidak ada tempat
yang lebih buruk dari rumah sendiri. “Saya tidak ingin kembali ke rumah dan
tidak ingin dipukuli Ayah setiap hari. Lebih baik menjadi gelandangan yang
bebas merdeka diluar sini daripada tertekan berada di rumah sendiri,” urai Ade
yang tengah beristirahat sejenak dengan sepotong kue pisang di tangannya.
Ade yang
sehari-harinya menekuni dunia tarik suara versi jalanan di perempatan lampu
merah Jembatan Merah Plaza (JMP) Surabaya, mengaku sudah lima tahun menjalani
profesinya ini. “Untuk ukuran karir musisi jalanan, saya mungkin sudah bisa dianggap
profesional. Tapi, apalah artinya ini bila dibandingkan dengan dunia musik yang
sesungguhnya. Tentu saya hanya seekor “kutu kupret” yang tidak bisa apa-apa. Lha wong penyanyi dan band yang sudah
sangat beken di Indonesia saja tidak
laku kalau dibawa ke luar negeri, apalagi saya,” ujar Ade yang sempat mengecap
pendidikan hingga kelas lima SD.
Disamping Ade bersila
pula dua teman kecilnya yang senasib, Selvi (12) dan Yono (8), keduanya adalah
kakak beradik yang juga mencari peruntungan dibawah bias lampu jalanan. Sambil
mengeluarkan tiga lembar seribuan dari kantong celananya yang lusuh, Selvi
berlari ke warung sebelah membeli sebungkus nasi untuk menjawab perut yang
sedari tadi teriak minta diisi. Cuman nasi putih dan dua potong tempe goreng
memang, tapi sorot mata kakak beradik ini seolah mengatakan bahwa ini adalah
kemewahan sesungguhnya bagi mereka.
Kebanyakan anjal di daerah JMP ini
tidak bersekolah. Ada beberapa yang sekolah dan itupun keadaannya terancam
putus sekolah. Baik karena tidak adanya biaya, maupun daya tarik
lingkungan jalanan terhadap anak-anak yang membuat mereka semakin lama semakin
betah di jalanan. Niat membantu orangtua dan uang yang didapat dijalanan
semakin meredam semangat mereka untuk mengenyam pendidikan. “Orang tua udah gak sanggup biaya sekolah lagi jadi
mending ngamen disini biar bisa dapat
uang untuk bantu orang tua,” ungkap Ria (15) yang putus sekolah sejak kelas
lima SD ini.
Hidup di jalan bukanlah
suatu pilihan tepat bagi anak kecil usia mereka, mencoba mengais rezeki dengan
cara halal melalui berjualan koran adalah salah satu upaya jalan guna
melepaskan belenggu kemiskinan. Mam (13) begitu sapaan akrabnya, memang sudah
terbiasa menghirup asap jalanan, dibawah terik panas matahari menyengat, bahkan
sering kali terkena razia Satpol PP. Mam tidak bekerja sendiri disana, ada
temannya juga, usianya tidak terpaut jauh hanya beberapa tahun saja, setahun,
ya kurang lebih seperti itu, dia masih berstatus sebagai pelajar di salah satu
SMP Swasta di kota Surabaya, sebagian besar hari-harinya dihabiskan di jalanan,
seusai pulang sekolah, dia ia tidak lupa membantu orang tuanya, membereskan
rumah sebentar, kemudian dilanjutkan istirahat tidur. Lantas pada waktu sore
harinya ia bekerja sampingan menjadi loper koran, tak jarang sampai larut malam
baru kunjung pulang, tergantung pada laku tidak terjualnya koran. “Kalau koran
laris terjual, ya tidak sampai larut
malam kak,” ungkap Mam yang juga
menambah penghasilan dengan mengumpulkan barang bekas.
Momentum
Bebas Anak Jalanan
Jarum jam yang
menunjuk angka 12 pertanda saatnya makan siang bagi para pegawai kantoran, tidak
terkecuali para “laskar” matahari yang juga butuh waktu sejenak untuk melepas
lelah, salah satunya Wahyu (19). Tatapan matanya yang tajam memandang kendaraan
hilir mudik, dengan ukulele tua yang masih tergenggam erat ditangannya dan
wajah yang tampak jauh lebih dewasa dibandingkan usianya, seolah menyiratkan
kerasnya hidup yang selama ini ia jalani.
Di sudut emperan
toko Dukuh Kupang tepatnya, Wahyu berbagi kisah tentang hidup dan mimpinya.
“Jangan tanya siapa ayah atau ibu, karena saya adalah yatim piatu yang tak
mengenal orang tua, keluarga adalah mereka yang senasib dan terbuang seperti
saya,” tutur Wahyu.
“Coba
tengok di balik gedung itu. Nyamannya mereka, tidak kepanasan duduk disana,
mendapatkan pendidikan, mendapatkan teman pula. Inginnya saya bersekolah. Tapi
uang dari mana? Bagaimana bisa? Kalaupun telah ada sekolah gratis, belum tentu
yang lainnya gratis. Kalaupun saya sekolah, bagaimana bisa mencari uang? Hm...saya
tidak seberuntung mereka,” ungkap Wahyu.
Untuk mendapat rupiah diakui Wahyu,
dirinya sering berpindah tempat, Dukuh Kupang, JMP, Terminal Joyoboyo hingga
Mayjen Sungkono menjadi lahan pekerjaannya. “Tempat saya di jalanan, perempatan, dan warung-warung,
dengan lagu dan setumpuk koran saya mencari uang. Anak jalanan, anak terlantar,
apapun kata orang saya tak peduli. Buat saya yang terpenting adalah bagaimana menyambung
nyawa,” urai Wahyu.
Kisah
Wahyu adalah 1001 potret anjal di tanah air. Kehidupan berpindah-pindah yang
dilakoni Wahyu merupakan salah satu mobilitas tinggi anjal yang sudah hidup
lama di jalanan. “Mereka yang mobilitasnya tinggi
(berpindah-pindah tempat sesuka hati dalam beroperasi) ini adalah mereka yang
sudah lama berada dijalanan dan sudah tergabung dalam kelompok tertentu.
Di Surabaya ada kelompok anak jalanan yang mobilitanya tinggi, mereka adalah
“Kelompok Joyoboyo“ yang keberadaannya cukup disegani di komunitas jalanan
lainnya. Mereka ini terdiri dari anak-anak yang sudah lama berada dijalanan,
baik yang memang berasal dari keluarga jalanan maupun tidak,” jelas Elra salah
satu aktivis Save Street Child
Surabaya dalam acara Dolonan Surabaya yang diadakan oleh komunitas ini pada
Minggu (9/12) di Royal Plaza Surabaya.
Menurut Elra, mobilitas
tinggi ini memang merupakan salah satu karakter yang menjadi kendala untuk
menangani anjal. Disamping karakter dan faktor lain yang cukup menentukan juga.
Namun demikian mobilitas tinggi inilah yang mengakibatkan sulitnya mendata
mereka apalagi menanganinya. Hingga tak mengherankan bila penanganan anak
jalanan terkesan berjalan ditempat. ”Memang sudah banyak penanganan dengan
berbagai bentuk mulai dari home base
sampai street base. Namun jumlah anak
jalanan tidak pernah berkurang bahkan cenderung meningkat jumlahnya. Bahkan
sekarang anak jalanan hampir ada disemua lampu lalulintas di Surabaya ini.
Kegiatan merekapun bermacam macam mulai dari pengamen, asongan sampai
minta-minta,” kata Elra.
“Sungguh ironis
melihat kenyataan generasi penerus bangsa ini nantinya, harus berkutat di atas
jalanan. bekerja dibawah usia anak-anak, dan satu hal lagi tanpa
mempertimbangkan masa depan mereka kedepan, hanya mengharap kehidupan esok
lebih baik dari hari sebelumnya,” ungkap Elra. Elra menambahkan, perkembangan
kota di segala bidang tampaknya tidak hanya memberikan nuansa positif bagi
kehidupan masyarakat. Namun juga melahirkan persaingan hidup, sehingga muncul
fenomena kehidupan yang berujung pada kemiskinan.
“Seperti yang
kita ketahui bersama secara psikologis dalam pribadi anak jalanan itu berbeda
sekali dengan kehidupan dan karakter kita sebagai masyarakat awam, bukannya
bermaksud untuk memperbandingkan strata sosial, tapi hanya saja ya itu lah anak jalanan yang hidup bebas di luar tanpa ada kontrol dan
pengawasan dari orang terdekat, yang ditakutkan adalah dalam memanage
atau mengelola tabungan tersebut, apakah memang nantinya uang tersebut
dipergunakan sebagaimana mestinya, atau malah sebaliknya? misalnya tabungan
tersebut dapat dialokasikan sebagai modal usaha, membuka lapangan pekerjaan
kecil-kecilan. Besar harapan saya semoga tabungan tersebut tepat sasaran, tidak
masuk ke kantong-kantong pribadi oknum-oknum yang tak bertanggung jawab,” urai
Elra.
“Anak jalanan adalah produk kemiskinan, maka harus ditemukan solusi yang
tepat dalam mengatasinya. Misalnya dengan pengadaan rumah singgah yang
benar-benar sesuai standar rumah singgah, seperti harus memiliki fasilitas
termasuk kualitas SDM untuk memenuhi segala kebutuhan dari anak jalanan,
diperlukan pengolahan rumah singgah yang baik, kerjasama antar instansi terkait
atau LSM, serta harus menggali kebutuhan dari anak-anak jalanan,” ungkap Kepala
Dinas Sosial Surabaya, Eko Hariyanto di sela-sela kegiatan Surabaya Dolanan.
Eko menambahkan,
kasus pedofilia yang terjadi di Jakarta, Surabaya
beberapa tahun yang lalu dan menghebohkan Indonesia baru-baru ini merupakan
momentum yang baik untuk mengurangi, bahkan meniadakan anak jalanan dan pekerja
anak di jalanan. “Mereka dilarang turun ke jalanan karena jalanan rentan dan
berbahaya. Banyak hak-hak mereka dirampas. Padahal untuk tumbuh dan berkembang
dengan baik, hak-hak mereka harus diberikan. Mereka juga butuh lingkungan
yang kondusif,” jelas Eko.
“Momentum ini sejalan dengan program pemerintah pusat mewujudkan Indonesia
bebas anak jalanan. Lalu bagaimana mengatasinya masyarakat miskin dan anak
jalanan ini? Mengurangi kemiskinan tetap harus jalan seiring dengan visi, misi
dan program pemerintah baik provinsi maupun kota atau kabupaten. Jumlah
masyarakat miskin harus dikurangi secara bertahap. Program pengetasan
kemiskinan tersebut harus tepat sasaran sehingga ada peningkatan kesejahteraan,
dari masyarakat miskin menjadi masyarakat yang tidak lagi miskin. Ada
peningkatan kualitas kehidupan, peningkatan pendidikan sehingga banyaknya
anak-anak miskin yang bisa bersekolah,” urai Eko.
Eko menambahkan, pemerintah wajib memberikan pendidikan gratis kepada
mereka sehingga anak-anak jalanan itu tidak mesti mengemis atau menjual koran
dulu agar bisa sekolah. “Jika program pengentasan kemiskinan sukses, pendidikan
sudah merata maka pemerintah ikut merasakan manfaatnya. Beban subsidi
pemerintah bisa dikurangi, kualitas SDM meningkat, angka kriminal berkurang,
investor semakin banyak, pendapatan daerah meningkat dan lain sebagainya. Jika
sudah seperti itu, jangan merasa takut terganggu keseimbangan kota dengan
berkurangnya masyarakat miskin. Justru sebaliknya, semakin menguntungkan,”
tambah Eko.
Kegiatan
Surabaya Dolanan ini sempat diisi pembacaan puisi oleh seorang anjal. Puisi
yang menjadi suara anjal, suara yang menunggu untuk didengar dan dirangkul. Terlahir tanpa keinginan, tanpa kepastian
hendak jadi apa, tercipta tanpa suara, tanpa tanya hendak kemana dan kau rasa
aku adalah sampah penuh bakteri dan infeksi. Akulah ribuan cita dan asa yang
terbuang sia-sia diantara ribuan hujatan dan cacian menghakimi. Satu pelajaran
yang ku dapat, bahwa jalanan mengajari ku untuk tidak mudah percaya pada mulut
manis seperti mu. Itulah sepotong bait dari mereka yang menyebut diri sebagai “pecundang jalanan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar