Senjata
makan tuan, ungkapan inilah yang rasanya paling tepat menggambarkan keadaan
bumi dan isinya saat ini, tentu saja kita manusia tuannya. Hampir semua bidang
kehidupan yang telah tersentuh teknologi sepertinya justru menjadi bumerang.
Dampak teknologi yang paling terasa kini adalah pemanasan global atau global warming. Penggunaaan teknologi
yang awalnya dimaksudkan untuk memudahkan pekerjaan manusia kini malah menjerumuskan
manusia kedalam jurang kebingungan bahkan ancaman kepunahan di masa datang. Efek
pemanasan global akibat penggunaan teknologi yang tidak terkontrol semakin hari
semakin tak bisa ditutupi. Perubahan cuaca yang sangat ekstrim hingga gangguan
yang kebih serius misalnya musim bercocok tanam yang tidak menentu merupakan
bukti nyata ancaman pemanasan global. Maraknya pembicaraan tentang issue
pemanasan global membuat berbagai upaya gencar dilakukan. Hari-hari ini
sebenarnya kita dibuat sibuk oleh ulah yang kita ciptakan sendiri.
Tentunya kita tak asing lagi dengan
arti global warming. Pemanasan global kan..Eh ozonnya
berlubang...Efek rumah kaca…Es kutub mencair? Demikianlah kita kembali
berdebat. Mungkin yang berlubang sebenarnya tak hanya lapisan ozon, tapi juga
pemikiran kita yang tak beres ini. Bukan rahasia lagi jika planet tempat kita
tinggal sedang dalam masalah serius, tapi sepertinya sikap kita masih saja sama,
acuh tak acuh. Lho kan ada pemerhati
lingkungan… Akuilah, seringnya kita masih bersikap kekanak-kanakan,
seolah-olah yang terjadi saat ini hanya tanggung jawab para pemerhati
lingkungan, organisasi-organisasi di bidang bersangkutan dan instansi-instansi
terkait, padahal sebagai masyarakat sipil kitalah penyumbang kerusakan
lingkungan terbesar.
Pemanasan global salah satunya
disebabkan oleh kerusakan lingkungan yang semakin menjadi-jadi. Di kota-kota
besar, ketidakteraturan tata ruang kota menyebabkan kerusakan lingkungan yang
dampaknya tidak kecil. Tata ruang kota yang tidak terorganisir dengan baik
mengakibatkan kesemrawutan pada daerah-daerah tertentu, sehingga mendorong
timbulnya pemukiman-pemukiman kumuh di sudut-sudut kota. Pemukiman kumuh inilah
yang memacu pengrusakan lingkungan. Bagaimana tidak, pemukiman kumuh yang
sering kita temui di pinggiran sungai misalnya, hampir sebagian besar membuah
limbah rumah tangganya ke dalam sungai sehingga menyebabkan air sungai tercemar.
Belum lagi jika sungai tersebut juga dimanfaatkan sebagai tempat buang air
besar dan kebutuhan jasmani yang lain. Bayangkan jika setiap hari, tanpa
pilihan lain mereka harus mencuci, mandi, hingga memasak dengan air yang sama,
tentunya berbagai macam penyakit seperti diare dan bermacam-macam penyakit kulit akan menjakiti para
penduduknya.
Masalah lain yang tak kalah bersaing
menjadi penyebab kerusakan lingkungan adalah polusi udara. Banyaknya kendaraan
bermotor yang melepaskan karbon
monoksida dapat memenjarakan sinar matahari yang seharusnya dipantulkan kembali
ke luar angkasa. Belum lagi penggunaan bahan bakar fosil yang stabil meningkat
1 persen tiap tahunnya, menjadi penyumbang karbon dioksida terbesar yang
dilepas ke udara terbuka. Untuk mengurangi dampak langsung pencemaran ini,
beberapa daerah di Indonesia telah mencanangkan program terkait penggunaan
kendaraan bermotor. Di Jakarta misalnya, pemberlakuan Car Free Day setiap satu bulan sekali mendapat respon yang sangat
baik dari para penduduk setempat. Car Free
Day dianggap mampu mengurangi polusi udara di Jakarta meski tidak
diberlakukan di seluruh wilayah ibukota.
Jarangnya Ruang Terbuka Hijau di
beberapa bagian kota juga menambah daftar panjang masalah penyebab kerusakan
lingkungan. Peralihan fungsi lahan menjadi tempat industri dan pemukiman
semakin menggusur keberadaan Ruang Terbuka Hijau. Ketidaktersediaan lahan bagi
Ruang Terbuka Hijau berdampak pada berbagai hal, salah satunya adalah menjadi
minimnya area penyerapan air sehingga menyebakan banjir saat musim hujan tiba. Ruang
Terbuka Hijau yang ideal adalah 30 % dari luas wilayah. Hampir disemua kota
besar di Indonesia, Ruang Terbuka Hijau saat ini baru mencapai 10%
dari luas kota. Ruang Terbuka Hijau mempunyai peranan yang tidak kecil. Selain
sebagai pemasok oksigen, Ruang Terbuka Hijau juga dimaksudkan sebagai wadah berkomunikasi
antar masyarakat sehingga meningkatkan kenyamanan kota serta kesejahteraan warga
kota sendiri. Curtibas, sebuah kota di Brazil yang menjadi bukti keberhasilan
penataan ruang yang mengedepankan
Ruang Terbuka Hijau di perkotaan. Melalui berbagai upaya penataan ruang seperti pengembangan pusat
perdagangan, sistem transportasi, dan berbagai insentif pengembangan kawasan,
persampahan dan Ruang Terbuka Hijau, kota tersebut telah berhasil meningkatkan
rata-rata luasan Ruang Terbuka Hijau per kapita dari 1 meter persegi menjadi 55 meter persegi selama 30 tahun
terakhir. Sebagai hasilnya kota tersebut sekarang merupakan kota yang nyaman
dan produktif dengan pendapatan per
kapita penduduknya yang meningkat menjadi dua kali lipat. Hal tersebut
menunjukkan bahwa anggapan pengembangan Ruang Terbuka Hijau yang hanya akan
mengurangi produktivitas ekonomi kota tidak terbukti.
Dampak pemanasan global memang belum
begitu jelas terasa kini, namun ancaman lebih serius menanti anak cucu kita di
masa depan. Pada abad ke-21 diperkirakan peningkatan lebih lanjut permukaan
laut 9-88 cm (4-35 inchi) akan sangat mempengaruhi kehidupan di daerah pantai.
Kenaikkan hingga 100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan 6 persen daerah Belanda, 17,5 persen daerah Bangladesh, dan banyak pulau-pulau lainnya. Erosi
yang terjadi akan mengikis permukaan daratan dan menyebabkan banjir karena
pasang air laut. Saat semua ini benar-benar terjadi, dunia akan dilanda
kepanikan yang mahadahsyat. Negara-negara kaya akan menghabiskan banyak biaya
untuk melindungi daerah pantainya, sementara negara-negara miskin mungkin hanya
akan melakukan evakuasi ke dataran yang lebih tinggi.
“Mengapa tanahku rawan kini?
Bukit-bukitpun telanjang berdiri..” Sampai kapan kita mau dijajah oleh
kenyataan semacam ini? Berhenti bersikap seolah-olah kita punya pilihan. Pilihan
kita satu-satunya adalah menyelamatkan masa depan generasi kita atau membiarkan
bumi kita dilebur pemanasan global tanpa perlawanan berarti. Jujurlah pada diri
kita jika sebenarnya kita takut jika kemungkinan terburuk itu terjadi pada bumi kita. Sudahi perbincangan kekanak-kanakan
yang tak kunjung menemui titik terang. Tindakan sekecil apapun akan
memperpanjang umur bumi kita meski hanya beberapa detik.
“Lestari
alamku..lestari desaku..dimana Tuhanku menitipkan aku..” Biarlah ‘berita cuaca’
menjadi doa, dan kuingin bukitku hijau kembali persis seperti syair magis
Gombloh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar