Social Icons

Facebook  Twitter  Google+ 

Rabu, 21 November 2012

"Berita Cuaca"


         Senjata makan tuan, ungkapan inilah yang rasanya paling tepat menggambarkan keadaan bumi dan isinya saat ini, tentu saja kita manusia tuannya. Hampir semua bidang kehidupan yang telah tersentuh teknologi sepertinya justru menjadi bumerang. Dampak teknologi yang paling terasa kini adalah pemanasan global atau global warming. Penggunaaan teknologi yang awalnya dimaksudkan untuk memudahkan pekerjaan manusia kini malah menjerumuskan manusia kedalam jurang kebingungan bahkan ancaman kepunahan di masa datang. Efek pemanasan global akibat penggunaan teknologi yang tidak terkontrol semakin hari semakin tak bisa ditutupi. Perubahan cuaca yang sangat ekstrim hingga gangguan yang kebih serius misalnya musim bercocok tanam yang tidak menentu merupakan bukti nyata ancaman pemanasan global. Maraknya pembicaraan tentang issue pemanasan global membuat berbagai upaya gencar dilakukan. Hari-hari ini sebenarnya kita dibuat sibuk oleh ulah yang kita ciptakan sendiri.

            Tentunya kita tak asing lagi dengan arti global warming. Pemanasan global kan..Eh ozonnya berlubang...Efek rumah kaca…Es kutub mencair? Demikianlah kita kembali berdebat. Mungkin yang berlubang sebenarnya tak hanya lapisan ozon, tapi juga pemikiran kita yang tak beres ini. Bukan rahasia lagi jika planet tempat kita tinggal sedang dalam masalah serius, tapi sepertinya sikap kita masih saja sama, acuh tak acuh. Lho kan ada pemerhati lingkungan… Akuilah, seringnya kita masih bersikap kekanak-kanakan, seolah-olah yang terjadi saat ini hanya tanggung jawab para pemerhati lingkungan, organisasi-organisasi di bidang bersangkutan dan instansi-instansi terkait, padahal sebagai masyarakat sipil kitalah penyumbang kerusakan lingkungan terbesar.
            Pemanasan global salah satunya disebabkan oleh kerusakan lingkungan yang semakin menjadi-jadi. Di kota-kota besar, ketidakteraturan tata ruang kota menyebabkan kerusakan lingkungan yang dampaknya tidak kecil. Tata ruang kota yang tidak terorganisir dengan baik mengakibatkan kesemrawutan pada daerah-daerah tertentu, sehingga mendorong timbulnya pemukiman-pemukiman kumuh di sudut-sudut kota. Pemukiman kumuh inilah yang memacu pengrusakan lingkungan. Bagaimana tidak, pemukiman kumuh yang sering kita temui di pinggiran sungai misalnya, hampir sebagian besar membuah limbah rumah tangganya ke dalam sungai sehingga menyebabkan air sungai tercemar. Belum lagi jika sungai tersebut juga dimanfaatkan sebagai tempat buang air besar dan kebutuhan jasmani yang lain. Bayangkan jika setiap hari, tanpa pilihan lain mereka harus mencuci, mandi, hingga memasak dengan air yang sama, tentunya berbagai macam penyakit seperti diare dan bermacam-macam  penyakit kulit akan menjakiti para penduduknya.
            Masalah lain yang tak kalah bersaing menjadi penyebab kerusakan lingkungan adalah polusi udara. Banyaknya kendaraan bermotor  yang melepaskan karbon monoksida dapat memenjarakan sinar matahari yang seharusnya dipantulkan kembali ke luar angkasa. Belum lagi penggunaan bahan bakar fosil yang stabil meningkat 1 persen tiap tahunnya, menjadi penyumbang karbon dioksida terbesar yang dilepas ke udara terbuka. Untuk mengurangi dampak langsung pencemaran ini, beberapa daerah di Indonesia telah mencanangkan program terkait penggunaan kendaraan bermotor. Di Jakarta misalnya, pemberlakuan Car Free Day setiap satu bulan sekali mendapat respon yang sangat baik dari para penduduk setempat. Car Free Day dianggap mampu mengurangi polusi udara di Jakarta meski tidak diberlakukan di seluruh wilayah ibukota.
            Jarangnya Ruang Terbuka Hijau di beberapa bagian kota juga menambah daftar panjang masalah penyebab kerusakan lingkungan. Peralihan fungsi lahan menjadi tempat industri dan pemukiman semakin menggusur keberadaan Ruang Terbuka Hijau. Ketidaktersediaan lahan bagi Ruang Terbuka Hijau berdampak pada berbagai hal, salah satunya adalah menjadi minimnya area penyerapan air sehingga menyebakan banjir saat musim hujan tiba. Ruang Terbuka Hijau yang ideal adalah 30 % dari luas wilayah. Hampir disemua kota besar di Indonesia, Ruang Terbuka Hijau saat ini baru mencapai 10% dari luas kota. Ruang Terbuka Hijau mempunyai peranan yang tidak kecil. Selain sebagai pemasok oksigen, Ruang Terbuka Hijau juga dimaksudkan sebagai wadah berkomunikasi antar masyarakat sehingga meningkatkan kenyamanan kota serta kesejahteraan warga kota sendiri. Curtibas, sebuah kota di Brazil yang menjadi bukti keberhasilan penataan ruang yang mengedepankan Ruang Terbuka Hijau di perkotaan. Melalui berbagai upaya penataan ruang seperti pengembangan pusat perdagangan, sistem transportasi, dan berbagai insentif pengembangan kawasan, persampahan dan Ruang Terbuka Hijau, kota tersebut telah berhasil meningkatkan rata-rata luasan Ruang Terbuka Hijau per kapita dari 1 meter persegi  menjadi 55 meter persegi selama 30 tahun terakhir. Sebagai hasilnya kota tersebut sekarang merupakan kota yang nyaman dan  produktif dengan pendapatan per kapita penduduknya yang meningkat menjadi dua kali lipat. Hal tersebut menunjukkan bahwa anggapan pengembangan Ruang Terbuka Hijau yang hanya akan mengurangi produktivitas ekonomi kota tidak terbukti.
            Dampak pemanasan global memang belum begitu jelas terasa kini, namun ancaman lebih serius menanti anak cucu kita di masa depan. Pada abad ke-21 diperkirakan peningkatan lebih lanjut permukaan laut 9-88 cm (4-35 inchi) akan sangat mempengaruhi kehidupan di daerah pantai. Kenaikkan hingga 100 cm (40 inchi) akan menenggelamkan 6 persen daerah Belanda, 17,5 persen daerah Bangladesh, dan banyak pulau-pulau lainnya. Erosi yang terjadi akan mengikis permukaan daratan dan menyebabkan banjir karena pasang air laut. Saat semua ini benar-benar terjadi, dunia akan dilanda kepanikan yang mahadahsyat. Negara-negara kaya akan menghabiskan banyak biaya untuk melindungi daerah pantainya, sementara negara-negara miskin mungkin hanya akan melakukan evakuasi ke dataran yang lebih tinggi.
            “Mengapa tanahku rawan kini? Bukit-bukitpun telanjang berdiri..” Sampai kapan kita mau dijajah oleh kenyataan semacam ini? Berhenti bersikap seolah-olah kita punya pilihan. Pilihan kita satu-satunya adalah menyelamatkan masa depan generasi kita atau membiarkan bumi kita dilebur pemanasan global tanpa perlawanan berarti. Jujurlah pada diri kita jika sebenarnya kita takut jika kemungkinan terburuk itu terjadi pada  bumi kita. Sudahi perbincangan kekanak-kanakan yang tak kunjung menemui titik terang. Tindakan sekecil apapun akan memperpanjang umur bumi kita meski hanya beberapa detik.
“Lestari alamku..lestari desaku..dimana Tuhanku menitipkan aku..” Biarlah ‘berita cuaca’ menjadi doa, dan kuingin bukitku hijau kembali persis seperti syair magis Gombloh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar